Digitalisasi = New Normal?

Banyak yang sudah berangan saat lepas dari Pandemi Covid-19. Orang rindu menjadi normal. Kembali sekolah, bekerja, bergaul, berolah raga dan periksa ke dokter. Ya... Periksa ke dokter pun sekarang kalau bisa dihindari. Rumah sakit ada yang membatasi hanya terima pasien gawat, yang ordinary beli obat saja....
Belum lagi rindu suasana masjid bagi para muslim. Intinya semua ingin segera berlalu.
Meskipun begitu agar segera berlalu, maka pandemi ini tidak bisa hanya dengan diberi komando pokoknya, pokoknya besok Juni 2020 pandemi harus berakhir. Ya gak bisa lah ya... Harus dibarengi langkah-langkah nyata upaya pemberhentiannya.
Pandemi juga tidak akan berhasil hanya berdasar prediksi statistika, sederhana saja wong datanya saja gak pasti valid, mau error berapa persen ya gak bisa diprediksi. Prediksi akan jadi valid 90% saat nanti kurva datanya sudah
meluruh tajam...
Peran kita sebagai masyarakat adalah berperan aktif menjadi garda pemutus penularan. Karean memang kuncinya di kita, anggota masyarakat. Selama kita jumawa dan abai Covid-19 dia akan melenggang semakin kencang. Bagi yang beragama ditambah dengan memohon kepada sang pencipta agar virus ini segera dikalahkan.
Selama pandemi banyak orang dipaksa meningkatkan volume interaksi daring. Dalam jaringan komputer maka data yang dialirkan adalah data digital. Maknanya banyak orang terpaksa semakin akrab dengan perilaku digital.
Kita lihat saja sekarang bagaimana perilaku belajar saat ini. Sebelumnya dosen bawa buku referensi dipakai mengajar di kelas dengan menyiapkan presentasi sumber. Sekarang dosen bisa membawa mahasiswa untuk belajar langsung dari pengarang buku referensi yang sudah share materi kuliahnya di internet. Ujian berbasis komputer, nilai bisa langsung keluar, apakah masih perlu cetak berita acara ujian dan daftar nilai?
Anda yang belanja online masih perlu nota cetak belanja? Yang paling terasa adalah jika anda beli barang tak berwujud, seperti lagu atau buku elektronik. Apakah anda memaksa buku itu harus tersedia dalam bentuk dvd bercover?
Anda yang pejabat pemerintah, apakah bukti kehadiran anda adalah lembar sppd yang di tanda tangani dan cap basah? Bukankah cukup dengan penanda bahwa ponsel anda sudah berada di lokasi kunjungan dari jam sekian hingga sekian serta penanda kalender anda sudah terlaksana. Lengkapi juga dengan image atau video aktivitas anda lengkap dengan penanda waktu dan lokasi.
Digitalisasi tidak sekedar mencatat ke dalam aplikasi komputer. Dulu mau buat laporan harus lama, sekarang jadi cepat. Ternyata tidak hanya begitu, namun kemanfaatan adanya ketersediaan data yang bisa diakses kapanpun di manapun harus menjadi bagian dari perubahan perilaku digital.
Perilaku digital yang mudah diadaptasi manusia Indonesia adalah pemanfaatan elektronik money. Cukup menyimpan dalam kartu berpenanda elektronik (chips rfid) maka pembaca rfid yang terhubung ke server bisa menjumput uang yang kita deposit atas nama kartu penanda tersebut, tanpa pernah kita simpan catatan yang dikeluarkan perangkat penjumput uang elektronik kita tersebut.
Perilaku digital juga terlihat saat naik pesawat terbang, tidak terlihat lagi orang membawa tiket masuk ruang chek in, walau sayang saat boarding kita masih harus tunjukkan pass yang sebetulnya cukup digantikan dengan alat pemindai saja.
Selama pandemi banyak orang berlatih adaptasi dengan kehidupan berbau digital. Banyak yang menyatakan itu sebagai 'new normal', akankah? Kalau harapan presiden Juni Indonesia mau 'dinormalkan' lagi maka new normal belumlah akan menjadi kenyataan. Apalagi kalau melihat masih banyak masyarakat yang ternyata karena terdampak secara ekonomi maka belanja jaringan yang masih mahal di Indonesia menjadikan sebagian masyarakat tetap gagap digital.
Beda lagi kalau Internet Gratis dijalankan . Wallahu a'lam bishawab.
Semoga kita selalu diberi kesehatan dan perlindungan sehingga bisa bertemu 'new normal'.