SPI, Sumbangan Pengembangan Institusi

Tahun ini anak pertamaku, Shafira, masuk SMP. Alhamdulillah diterima di SMP Negeri 1 Semarang sesuai pilihan. Ada dua catatan yang cukup esensial dalam penerimaan peserta didik yang secara emosional kami terlibat.
Pertama mengenai seleksi. Metode seleksi yang memanfaatkan teknologi informasi / komputer, tahun ini sepertinya sudah lancar, ini menurut teman-teman UDINUS yang melaksanakan. Namun dari sisi kualitas menurut saya justru menurun, karena tidak ada transparansi dalam penentuan penerimaan. Sampai sudah 3 minggu sekolah tetap tidak tahu pada posisi berapa Shafira, sehingga dia bisa diterima di pilihan 1. Sudah begitu ternyata ada sekitar 11 anak (menurut Shafira) yang tiba-tiba muncul di hari pertama sekolah yang pada hari pembagian kelas nama tersebut tidak ada di daftar. Belakangan menurut kepala sekolah, saat mengundang wali murid dalam rapat pleno komite sekolah, diungkapkan mereka memberikan sumbangan jauh lebih banyak atau lewat jalur belakang. Kesimpulannya memang belum ada ruang keadilan dalam sistem penerimaan peserta didik di SMP Negeri.
Kedua mengenai uang sumbangan pendidikan atau yang sekarang disebut Sumbangan Pengembangan Institusi. Ini diluar pungutan-pungutan yang sebenarnya membuat hati bertanya-tanya sejauh mana peran pemerintah dalam dunia pendidikan. Berkedok untuk meningkatkan mutu dan kualitas peserta didik, sekolah beserta komite sekolah menyusun anggaran pendidikan tahun berjalan. Dari hampir 2 milyar rupiah anggaran pemerintah hanya "terlihat" menyumbang melalui dana BOS dan BPP sebesar 1/4 milyar. Belanja terbanyak hampir separo anggaran lari ke belanja pegawai dan lain-lain yang ujungnya jatuh ke pegawai juga. Tidak jelas apakah itu sudah termasuk gaji pegawai. Namun mendengar keterangan ketua komite sekolah yang masih satu kantor, setiap "obah bokonge" guru ada uangnya, maka belanja ini tentu merupakan pendapatan tambahan bagi karyawan, khususnya guru, diluar gaji tetapnya setiap bulan. Melihat APBD Kota Semarang yang hampir 20%, sepertinya fenomena ini akan tetap berlanjut walau sudah mencapai 20%.
Sekedar tambahan catatan itu belum uang seragam, uang buku, uang ekstra kurikuler, uang ... nggak tahu apalagi nanti.