Polemik RUU BHP

Awal Oktober 2006 media massa gencar memberitakan RUU Badan Hukum Pendidikan yang sudah diserahkan ke sekretariat negara untuk diagendakan ke DPR. Muncul polemik baru yaitu isu privatisasi pendidikan, dari isu awal tentang peran yayasan yang saat ini akan dipangkas ke dalam majelis wali amanah.

Namun semangat dari isu tetap sama yaitu tolak RUU BHP. Dari para penentang awal RUU BHP (dalam hal ini direpresentasikan oleh Asosiasi BP PTSI, yang dibentuk tahun 2003) dipermasalahkan tentang keberadaan penyelenggara pendidikan yang sudah ada sekarang akan tergusur. Meski ada tiga opsi yaitu pertama, yayasan atau sejenisnya membentuk BHP lalu yayasan melebur diri. Kedua, yayasan atau sejenisnya tetap seperti sekarang ini, tetapi tidak lagi langsung mengurusi satuan pendidikan karena kegiatannya diambil alih oleh majelis wali amanat (MWA). Ketiga, yayasan dan satuan pendidikan sama-sama melebur diri. Namun ketiga opsi tetap mengancam eksistensi penyelenggara perguruan tinggi swasta (PTS) antara lain dalam bentuk yayasan, badan perguruan, dan sejenisnya. Eksistensi di sini mungkin tidak dapat dibaca secara tekstual, namun lebih secara kontekstual.

Hal yang perlu diperhatikan dalam isu privatisasi pendidikan adalah swastanisasi yang notabene berkonotasi pendidikan akan menjadi mahal. Ada yang kontradiktif di sini, penentang RUU justru dari BP PTSI yang justru swasta. Apakah mereka akan melaksanakan/memberikan pendidikan yang murah? Seperti yang sudah mereka lakukan selama ini? Kita perlu lebih jujur menyikapinya.