UU BHP Disahkan, Mengapa Ditentang?

Hari-hari ini media massa ramai memberitakan tentang disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP oleh DPR pada 17 Desember 2008. Kebanyakan berita maupun artikel yang ada menyoroti tentang penentangan diberlakukannya UU tersebut. Mengapa UU BHP ditentang banyak kalangan? Kebanyakan para penentang mempermasalahkan neoliberalisme pendidikan atau / maupun komersialisasi pendidikan yang katanya terkandung dalam UU BHP. Beberapa menyatakan bahwa pemerintah lepas tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, pemerintah hanya akan menanggung 2/3 biaya pendidikan, anak-anak miskin tidak akan pernah mampu mendapatkan pendidikan bermutu dan masa depan pendidikan menjadi tidak tentu arah karena BHP dapat dinyatakan pailit. Mungkin masih ada yang luput dari pengamatan penulis mengenai beberapa keberatan lainnya.
Selain menentang ada juga yang mengamini, seperti ungkapan pengelolaan pendidikan yang lebih profesional, akuntabel dan transparan serta berorientasi kewirausahaan tidak harus dikatakan sebagai komersialisasi pendidikan karena ditujukan untuk peningkatan mutu pendidikan dan sisa hasil usahanya tetap dikembalikan ke tujuan pendidikan. Ungkapan lain yang setuju adalah tidak dipungkiri banyak pengelola pendidikan yang saat ini berkedok yayasan sebenarnya mengambil untung dari aktifitas pendidikan yang dikelolanya, dengan UU BHP diharapkan hal tersebut tidak akan terjadi lagi.
Diantara kedua kubu ada juga yang bersikap moderat, tidak terlalu memihak namun sebenarnya cenderung setuju dengan diberlakukannya UU BHP. Kelompok ini hanya berpesan mudah-mudahan pemerintah dapat memenuhi komitmen yang tercantum dalam UU BHP terutama peran dalam pembiayaan pendidikan yang sekarang ini kurang menyentuh penyelenggara pendidikan swasta.
Hal senada juga diungkapkan wakil pemerintah yang dalam hal ini terwakili oleh Dirjen Dikti, beliau mengutarakan kita jalankan dulu undang-undang ini, do’akan pemerintah dapat memenuhi semua komitmen yang tercantum di dalamnya. Jika memang hasilnya tidak baik bisa ditinjau kembali, lanjutnya. Sikap ini muncul sebagai ungkapan moderat meredam aksi-aksi mahasiswa menentang diberlakukannya UU BHP.
Semua yang diungkapkan di atas terutama dari yang bersikap menentang terlihat bahwa mereka tidak bersedia (atau sangat disayangkan jika belum) membaca seluruh naskah UU BHP dengan seksama dan dengan bersikap serta berpikiran positif. Banyak yang melandasi pemikirannya dengan hal-hal negatif dan apriori terlebih dahulu. Penulis hampir tidak mengerti landasan berpikir tuntutan mengenai ketidak setujuan penentang UU BHP tentang komersialisasi pendidikan dan ketidak jelasan masa depan pendidikan karena BHP dapat pailit. Penulis bukanlah ahli hukum yang sangat mengerti bahasa hukum, namun bukan tidak mengerti bahasa Indonesia. Pemahaman penulis dari salah satu ayat dalam UU BHP bahwa prinsip BHP adalah nirlaba dan jika ada kelebihan usaha harus dikembalikan untuk kepentingan pendidikan, maka jelas BHP tidak melakukan aktifitas komersial. Penulis belum menemukan kata maupun kalimat (dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa hukum) yang membuka peluang komersialisasi pendidikan. Jika ada kekhawatiran tentang kecanggihan Bangsa Indonesia mengakali atau mencari peluang hukum untuk hal tersebut, kita serahkan saja ke hukum kita untuk menanganinya. (Khusus hal ini sangat menarik membaca ulasan Prof Tjip tentang berhukum dengan akal sehat)
BHP dapat pailit, bukanlah berarti tidak jelas masa depan pendidikan. Hal ini hanya bermakna menyelenggarakan aktifitas pendidikan harus profesional, jangan hanya setengah-setengah atau asal-asalan. Peserta didik dari BHP yang pailit masih dapat di passing out atau dipindahkan ke pendidikan yang sejenis.
Penulis masih ingat saat-saat awal penyusunan RUU BHP, penentang utama adalah para pengelola perguruan tinggi swasta (yayasan, bukan penyelenggara atau rektor). Mereka bahkan menggugat (judificial review) UU Sisdiknas yang melandasi RUU BHP ke MK, namun ditolak. Saat ini mereka tidak lagi terdengar suara penentangannya namun digantikan oleh para mahasiswa, terutama mahasiswa negeri yang notabene telah lebih banyak menerima fasilitas pemerintah dibandingkan mahasiswa swasta yang justru selama ini mungkin pernah merasakan komersialisasi pendidikan. Sebuah paradok.